11 April 2008

Dasar Pertimbangan Pengolahan Air Limbah

Oleh: ARDA DINATA
SETIAP aktivitas manusia akan menghasilkan limbah. Baik yang berupa limbah padat maupun limbah cair. Dan sebagian besar masyarakat mengenalnya dengan istilah air limbah.
Air limbah (sewage) diartikan sebagai air dan cairan yang merupakan sisa dari kegiatan manusia di rumah tangga, commercial buildy (kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan) atau industri.

BOKS EBOOKS RESELLER SUKSES HIDUP ANDA:

1. Mengirim Ribuan Email Pribadi Sekali Klik
2. Cara Mudah & Praktis Nampang di Internet
3. Cara Praktis Bikin Situs Dinamis & Interaktif
4. Panduan Praktis Bikin Ebook
5. Menjadi Penulis Sukses & Kaya
6. Peta Harta Karun Bagi Penulis Sukses
7. Cara Gampang Nerbitin Buku
8. Pintar Membuat Tulisan Yang Mengandung Hikmah
9. Kiat Membuat Tulisan Yang Menarik
10. Rahasia Peluang Bisnis di Internet
===by. Arda Dinata

Dari sini, kita mengenal penggolongan air limbah berupa air limbah industri dan limbah domestik. Air limbah industri itu bersumber dari aktivitas industri, pertanian, dan sejenisnya. Sedangkan kandungan limbah industri ini tergantung pada bahan dan teknologi yang digunakan serta barang hasil produksi yang akan dihasilkan.
Sementara itu, sumber air limbah domestik berasal dari aktivitas rumah tangga, kantor, commercial buildy (hotel, restoran, rumah sakit), dll. Adapun limbah domestik ini memiliki kandungan bahan berupa 99,9 persen air dan 0,1 persen bahan padat.
Dari 0,1 persen bahan padat itu, terdiri dari bahan organik sebanyak 70 persen, yang meliputi karbohidrat (25%), lemak (10%), protein (65%) dan bahan anorganik sebanyak 30 persen, yang terdiri dari logam, tanah, dan pasir.
Melihat kandungan air limbah tersebut, maka produk sisa dari aktivitas manusia ini berpotensi besar terhadap terjadinya penyebaran penyakit dan kesakitan pada manusia, bila air limbah itu tidak dikelola dengan baik. Di sinilah perlunya dilakukan proses pengolahan air limbah terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air atau lingkungan lainnya.
Tipe Pengolahan
Sebelum kita menentukan tipe pengolahan air limbah yang tepat dibagun pada suatu daerah, maka terlebih dahulu kita harus memperhatikan persyaratan lokasi pengolahan air limbah tersebut.
Pada dasarnya, lokasi pengolahan air limbah tergantung pada kondisi suatu daerah. Yakni pada suatu daerah yang tidak memerlukan proses pemompaan untuk mengalirkan air limbahnya. Ini adalah dasar yang pertama.
Kedua, lokasi terpilih hendaknya tidak dekat dengan perumahan. Jarak minimal antara rumah terdekat dengan lokasi pengolahan air limbah adalah 500 meter.
Ketiga, lokasi terpilih harus dipilih sedemikan rupa sehingga air limbah dapat mengalir secara gravitasi dari proses pengolahan yang satu ke proses pengolahan berikutnya.
Keempat, walaupun daerah tersebut dapat mengalir secara gravitasi, tapi lokasi pengolahan air limbah pun, hendaknya tidak berada di daerah banjir.
Kelima, sebaiknya lokasi dipilih pada daerah yang cukup luas, bila dimasa yang akan datang perlu dilakukan pengembangan sarana pengolahan air limbah di lokasi tersebut.
Dari sini, kita mengenal ada dua tipe sistem pengolahan air limbah ini. Pertama, sistem pembuangan setempat (On Site Sanitattion). Pada setiap pembuangan setempat ini, air limbah dialirkan ke tempat pembuangan atau pengolahan yang terletak di sekitar pekarangan rumah atau bangunan. Istilah lain dari sistem setempat ini disebut juga sebagai sistem individual. Adapun jenis sarana yang termasuk tipe ini, misalnya cubluk, septic tank, dll.
Kedua, sistem pembuangan terpusat (Off Site Sanitation). Pada sistem pembuangan terpusat ini, air limbah disalurkan ke saluran air limbah kota yang mengalir menuju pengolahan air limbah kolektif di daerah tertentu. Sistem ini juga dikenal dengan istilah sistem komunal. Jelasnya, pada sistem komunal air limbah dialirkan dari sumbernya menuju ke tempat pengolahan terpusat dengan mempergunakan pipa riol. Adapun riol yang dipakai untuk mengalirkan air limbah tersebut dinamakan dengan Sewerage System.
Dasar Pertimbangan
Dasar-dasar pertimbangan dalam pemilihan teknologi pengolahan (pembungan) air limbah di tiap-tiap daerah umumnya memiliki faktor-faktor yang berbeda. Yang jelas, untuk menetapkan teknologi pengolahan air limbah yang tepat di suatu daerah, ternyata banyak faktor yang harus dipertimbangkan.
Faktor-faktor pertimbangan tersebut, diantaranya berupa: (1) Kepadatan penduduk. Faktor ini dapat menjadi indikator akan tersedia atau tidaknya lahan yang cukup untuk membangun sistem pengolahan setempat (individual). Biasanya, jika kepadatan penduduk lebih dari 300 jiwa/ha, maka sistem setempat sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan. Seperti halnya untuk kondisi Kota Bandung, sistem setempat ini sudah tidak tepat lagi diterapkan.
(2) Penyediaan air bersih. Faktor ini sangat penting diperhatikan, karena kondisi tersedia atau tidaknya air bersih di suatu daerah akan menentukan dari kelancaran operasi sistem pengoahan air limbah. Yang mana, untuk sistem pembungan terpusat itu memerlukan penyediaan air bersih yang relatif lebih terjamin dibandingkan dengan sistem pembungan setempat. Hal ini dikarenakan sistem terpusat memerlukan proses penggelontoran yang baik dan terjamin.
(3) Keadaan tanah. Faktor keadaan tanah yang tidak dapat meresapkan air tidak mungkin diterapkan untuk sistem pembungan setempat, karena sistem ini memerlukan areal peresapan. Dan kondisi tanah seperti itu, sistem peresapannya dapat dipastikan tidak dapat berjalan dengan baik.
(4) Keadaan air tanah. Kondisi air tanah yang dangkal tidak cocok untuk diterapkan pada sistem pembungan air limbah setempat. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut menyebabkan sistem peresapan tidak akan berjalan dengan baik. Selain itu, effluent dari sistem pembungan setempat ini akan mencemari air tanah dangkal, terutama jika air tanah tersebut dipergunakan sebagai sumber air minum.
(5) Keadaan tofografi (penampang tanah). Faktor kemiringan tanah ini akan mempengaruhi pemilihan teknologi pengolahan air limbah. Kondisi tanah yang memiliki kemiringan kurang dari 2 persen akan menyulitkan dalam penerapan sistem pembungan terpusat. Hal ini didasarkan penanaman pipa pada bagian hilir akan dalam sekali. Atau jika terpaksa, maka akan dilakukan dengan sistem pemompaan. Dan ini berarti memerlukan investasi dana yang tidak kecil.
(6) Kemampuan membangun. Faktor ini jelas-jelas berkait dengan kemampuan setiap daerah untuk membangun teknologi yang dipilih. Apabila perencanaan yang tidak tepat dan cermat, bisa jadi ada kemungkinan teknologi yang telah dipilih tidak dapat diterapkan karena ketidakmampuan tenaga setempat untuk membangun atau minimal penerapannya akan mundur waktunya hingga kondisi tenaga (SDM) daerah tersebut telah cukup mampu untuk membangun.
(7) Kondisi sosial ekonomi masyarakat. Faktor ini lebih tepat dalam menekankan pada kondisi dan status ekonomi masyarakat setempat. Hal ini tentunya, diperlukan akan adanya pemberdayaan masyarakat setempat berkait dengan pembebanan biaya pembangunan dan operasional penyelenggaraan pengolahan air limbah. Karena tidak mungkin biaya operasional dan pemeliharaan alat-alat pengolahan air limbah terus-terus ditanggung oleh pemerintah daerah setempat. Lebih-lebih saat ini telah dilakukan otonomi daerah.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, setidaknya tiap-tiap daerah mampu merencanakan dan merealisasikan program pengolahan air limbah secara tepat. Bila hal ini tidak segera dibenahi, maka air limbah tersebut siap-siap mengancam keselamatan lingkungan dan manusia itu sendiri. ***
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA:

Sistem Manajemen dan Audit Lingkungan Industri

Oleh: ARDA DINATA
KESADARAN perusahaan untuk menerapkan sistem manajemen lingkungan ISO 14001 masih tergolong rendah. Setidaknya ini bisa terlihat dari sejumlah perusahaan yang sudah disertifikasi ISO 14001 oleh PT. Sucofindo, yang dipublikasikan dalam seminar Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001: Membangun Keseimbangan dan Meningkatkan Daya Saing Bisnis. Hingga Mei 2000, baru sekitar 62 organisasi yang sudah disertifikasi ISO 14001 di Indonesia, di mana 17 di antaranya disertifikasi Sucofindo (Republika, 17 Juni 2000).
Padahal, dengan menerapkan ISO 14001, perusahaan dapat melindungi lingkungan serta meningkatkan efesiensi produksi yang mendatangkan keuntungan ekonomis. Sementara itu, Deputi Menag Lingkungan Hidup bidang Sosial Ekonomi dan Perdagangan, Arie Djoekardi mengatakan, “Yang jelas, jika mereka melaksanakan (ISO 14001-penulis), berarti industrinya memiliki nilai tinggi, terutama di tingkat international di mana masalah lingkungan sangat diperhatikan.”
Datangnya arus globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung saat ini, seharusnya kita sikapi sebagai suatu proses alami dalam peradaban manusia. Konsekuensi logis situasi ini adalah semakin meningkatnya persaingan ekonomi di pasar bebas. Kita tahu saat ini telah terjadi pengelompokkan kekuatan ekonomi regional seperti European Community (EC), North Atlantic Free Trade Area (NAFTA) dan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Tindakan ini tidak lain sebagai langkah preventif dan antisipatif regional untuk menghadapi persaingan dalam perdagangan bebas.
Isu-isu lingkungan saat ini, juga mewarnai pola persaingan dalam dunia usaha secara keseluruhan. Sehingga setiap negara dituntut untuk mengembangkan kebijakan dan program pengelolaan lingkungan nasional masing-masing. Namun karena kebebasan dunia ekonomi sehingga membuat kemampuan dan kebebasan pemerintah menjadi terbatas dalam menghadapi isu lingkungan itu. Oleh karenanya dunia usaha harus siap dan mandiri dalam menghadapi persaingan itu kalau ingin diperhitungkan pengusaha lain.
Menurut PL Counter, sistem pengelolaan lingkungan merupakan inti dari International Standard Organitation (ISO) 14000. Beliau mengungkapkan, sistem pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai integrasi dari struktur organisasi, wewenang dan tanggung jawab, mekanisme dan prosedur atau proses, praktek operasional, dan sumber daya untuk implementasi pengelolaan lingkungan yang meliputi segenap aspek fungsional manajemen untuk mengembangkan, mencapai dan menjaga kebijakan serta tujuan organisasi dalam isu-isu lingkungan hidup.
Kaitan dengan itu, untuk mewujudkan impian suatu pembangunan berwawasan lingkungan, salah satu caranya diterapkan dan dilaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi setiap rencana kegiatan pembangunan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Hasil dari analisis ini didapat suatu langkah preventif dan antisipatif terhadap dampak negatif yang ditimbulkan serta diharapkan kita dapat mengembangkan dampak positif dari proses kegiatan tersebut.
Audit Lingkungan
Selain studi AMDAL, terdapat pula peluang baru dalam upaya pengendalian dampak lingkungan berupa studi audit lingkungan. Apa itu audit lingkungan? Secara umum audit lingkungan merupakan alat teknis manajemen yang digunakan untuk mengukur kinerja (performance) perusahaan atau organisasi bisnis industri terhadap beberapa baku mutu lingkungan dari taraf internal sampai eksternal perusahaan.
Menurut Interntional Chamber of Commerce, audit lingkungan diartikan sebagai alat teknis manajemen yang mencakup evaluasi sistimatik, terdokumentasi, periodik dan obyektif tentang bagaimana suatu organisasi, sistem manajemen dan peralatan bekerja (to perform) dengan tujuan: pertama, memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan. Kedua, mengkaji pentaatan kebijakan perusahaan terhadap peraturan-peraturan lingkungan.
Istilah audit ini lebih bersifat generik yang mengacu pada tindakan atau serangkaian tindakan manajemen bersifat proaktif untuk mendeteksi masalah sebelum terjadi kerusakan, upaya positif perusahaan dalam mengelola masalah lingkungan, memperbaiki pencemaran lingkungan, menghindari resiko dan potensial liabilites.
Dilihat dari sudut ruang lingkup audit lingkungan secara detail, kegiatannya mencakup semua aspek operasional perusahaan dan kemungkinan dampak yang ditimbulkan terhadp lingkungan. Tapi, dalam pelaksanaannya di lapangan kegiatan audit lingkungan sering kali hanya difokuskan pada beberapa aspek spesifik seperti pentaatan, pencemaran lingkungan atau efesiensi penggunaan sumber daya alam dan energi.
Adapun sasaran yang dijadikan kegiatan audit lingkungan meliputi pengembangan kebijakan lingkungan; pentaatan terhadap regulasi, lisensi dan standar; review tentang tindakan manajemen dan operasi perusahaan; minimisasi resiko lingkungan; efesiensi penggunaan energi dan sumber daya alam; perbaikan kondisi kesehatan dan keselatan kerja; aktivitas pasca AMDAL; penyediaan informasi untuk asuransi, akuisisi, merger dan divesment; serta pengembangan citra ‘hijau’ dalam korporasi yaitu salah satu startegi bisnis yang cukup handal dalam persaingan dunia bisanis saat ini.
Dari sini, kita melihat bahwa audit lingkungan dapat memberikan arahan pada suatu perubahan menuju pengembangan track record kepedulian lingkungan. Yang akhirnya reputasi semacam ini memberikan citra yang positif dan dapat menjadi aset korporasi serta strategi pemasaran yang kompetitif.
Adapun manfaat yang dapat kita tarik dari pelaksanaan kegiatan audit lingkungan yang sesuai dengan sasaran tersebut, antara lain: (a) mampu mengindentifikasi resiko dan penanggulangannya. (b) Menyediakan dasar pijakan untuk kebijakan lingkungan dan tindaklajutnya. (c) Menghindari kerugian finansial akibat penutupan perusahaan, pembersihan limbah atau publikasi akibat praktek lingkungan yang buruk. (d) Menghindari gugatan hukum.
(e) Memberikan dasar atau bukti mentaati hukum, jika diminta pengadilan. (f) Mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab lingkungan pada karyawan. (g) Mengindentifikasi potensi penghematan akibat konservasi energi, reduksi limbah, daur ulang dan penggunaan kembali. (h) Menyediakan dokumentasi untuk public hearing, jika diminta pemerintah, LSM, atau media massa. (I) Menyediakan informasi untuk kepentingan asuransi, pemilik saham dan investor.
Manajemen Lingkungan
Sejak Conference on Human and Environment yang diadakan PBB tahun 1972 di Stockholm telah muncul kesadaran adanya keterkaitan dunia usaha dengan lingkungan. Konfrensi itu dilanjutkan di Nairobi pada 1982 yang melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkontrol akan berpengaruh terhadap kelangsungan dunia usaha.
Pola pemikiran itu diwujudkan berupa terbentuknya United Nation Environment Program (UNEP) dan World Commission on Environment and Development (WCED). Dalam laporannya pada tahun 1987 WCED memperkenalkan istilah Sustainable Development yang mencakup pengertian bahwa kalangan industri sudah mulai mengembangkan sistem manajemen lingkungan yang dilaksanakan secara efektif. Bagimana dengan industri-industri di Indonesia? Kelanjutan dari situasi ini adalah dengan diselenggarakannya United Confrence on Environment and Development di Rio de Janeiro pada tahun 1982.
Sejarah standar manajemen lingkungan di dunia pertama kali dikeluarkan oleh Inggris pada tahun 1992, yaitu British Standard (BS) 7750. Baru pada tahun 1993 Uni Eropa mulai memberlakukan Eco Management and Audit Scheme (EMAS). Akibat kemunculan EMAS ini menyebabkan BS 7750 direvisi dan baru pada tahun 1994 kembali ditetapkan.
Kemudian atas dorongan dari kalangan dunia usaha ISO dan International Electrotechnical Commission (IEC), maka dibentuklah Strategic Advisory Group on the Environment (SAGE) pada Agustus 1991. SAGE merekomendasikan pada ISO mengenai perlu adanya suatu Technical Committe (TC) yang khusus bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar manajemen lingkungan yang berlaku secara internasional.
Baru pada tahun 1993, ISO membentuk TC 207 yang khusus bertugas mengembangkan standar manajemen lingkungan yang dikenal sebagai ISO seri 14000. Standar yang dikembangkan pada ISO 14000 ini mencakup rangkaian enam aspek spesifik, yaitu Environmental Management System (EMS), Environmental Auditing (EA), Environmental Labelling (EL), Environmental Performance Evaluation (EPE), Life Cycle Analysis (LCA), dan Terms and Definition (TD).
Ada beberapa pokok pikiran yang mendasari keberadaan ISO seri 14000 ini. Pertama, menyediakan elemen-elemen dari suatu sistem manajemen lingkungan yang efektif dan dapat dipadukan dengan persyaratan manajemen lainnya. Kedua, membantu tercapainya tujuan ekonomi dan lingkungan dengan meningkatkan kinerja lingkungan dan menghilangkan serta mencegah terjadinya hambatan dalam perdagangan.
Ketiga, tidak dimaksudkan sebagai hambatan perdagangan non tarif atau untuk mengubah ketentuan-ketentuan hukum yang harus ditaati. Keempat, dapat diterapkan pada tipe dan skala organisasi. Kelima, agar tujuan dan sasaran lingkungan dapat tercapai, maka harus didorong dengan penggunaan Best Available Technology and Economically Viable (EVABAT).
Adapun keuntungan potensial yang diperoleh bagi perusahaan yang melaksanakan sistem manajemen lingkungan adalah optimisasi penghematan biaya dan efesiensi, mengurangi resiko lingkungan, meningkatkan ‘image’ organisasi, meningkatkan kepekaan terhadap perhatian publik, dan memperbaiki proses pengambilan keputusan (Lucy Lukman B; 1997).
Kalau saja kita perhatikan secara obyektif penerapan ISO 14000 akan memberi tantangan dan sekaligus peluang bagi setiap industri. Terlepas dari diterapkan atau tidaknya sistem ISO 14000 dalam perusahaan di Indonesia, setidaknya kita tetap harus mengetahui, mempelajari dan memahaminya sesuai perkembangan. Yang jelas, produk bersih dan ramah lingkungan merupakan prasyarat untuk dapat bersaing di pasar perdagangan bebas tahun 2003 (AFTA).***
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA:

Minimisasi Limbah Industri Kurangi Derita Citarum

Oleh: ARDA DINATA
PENDERITAAN yang dialami Sungai Citarum saat ini, membuat hati saya terharu (sedih) dan cemas. Terharu, karena betapa beratnya beban (pencemaran) yang dipikulnya. Cemas, karena bagaimana nasib anak cucu kita ke depan, bila kondisi Sungai Citarum –yang begitu banyak dimanfaatkan masyarakat Jawa Barat dan DKI Jakarta ini--- tidak segera dibenahi secara benar dan simultan berkesinambungan.
Melalui tulisan ini, saya bermaksud mencoba urun rembuk berkait dengan usaha penyelamatan nasib Sungai Citarum ini. Ada satu hal yang kelihatannya belum terungkap dalam laporan khusus tersebut yaitu berupa usaha melalui minimisasi limbah industri dalam mengurangi derita Citarum. Mengapa harus minimisasi limbah industri?

Kita tahu, keberadaan sungai terpanjang di Jabar itu (baca: Sungai Citarum), memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) sekira 6.080 km2 dan panjang sungai 269 km itu merupakan sumber kehidupan dan penghidupan yang tidak bisa dilihat dengan sebelah mata. Pasalnya, pada DAS itu bermukim 11,255 juta penduduk dan sekira 1.000 industri besar yang sekaligus sebagai sumber pencemaran yang paling dominan. Yakni saat ini saja, lebih dari 280 ton limbah tumpah ke Citarum setiap harinya.

Terjadinya pencemaran di sungai tersebut, ternyata bila diteliti lebih lanjut keberadaan buangan industri ini punya potensi sangat besar, lebih-lebih bagi industri yang tidak memiliki (dan mengolah limbahnya) di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Bayangkan saja, pada tahun 2000, jumlah industri di Citarum hulu kurang lebih 315 (Kab. Bandung dan Kota Cimahi), 74 (Kota Bandung), dan 17 (Kab. Sumedang). Dan dapat dipastikan pada tahun 2003 ini, jumlahnya lebih dari itu. Dari sini, sehingga pantas saja kalau Pemprov. Jabar menyatakan bahwa sepanjang 127 km atau 47,1% aliran Sungai Citarum telah tercemar berat.

Sementara itu, sebanyak 217 industri yang berada di sepanjang aliran Sungai Citarum, Kab. Bandung, Jabar, disinyalir turut bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran di Sungai Citarum. Ke-217 industri yang terletak di daerah Rancaekek dan Majalaya, Kab. Bandung, itu diduga tidak mengoperasikan IPAL secara benar. Bahkan, beberapa industri diduga kuat membuang limbahnya secara langsung ke Sungai Citarum tanpa diproses di IPAL. (Kompas, 28 Juni 2003).

Menyikapi kondisi seperti itu, diungkapkan Koordinator Warga Peduli Lingkungan (WPL), Soenardhie Yogantara, merupakan kebijakan tata ruang yang salah kaprah dengan membiarkan hulu Sungai Citarum dipenuhi industri, bisa dikatakan sebagai salah satu contoh kerusakan lingkungan terparah di dunia. (PR, 12 Juni 2003).

Jadi, berdasarkan fakta-fakta di atas jelas sudah bahwa penderitaan Sungai Citarum sedikit banyak lebih diperparah oleh adanya pengelolaan limbah industri yang tidak berwawasan lingkungan.

Kesadaran Pengusaha
Sejalan dengan dibukanya era keterbukaan dan kebebasan sejak era reformasi yang lalu, secara bermakna telah memunculkan era keterbukaan wacana mengenai terjadinya kerusakan lingkungan (baca: pencemaran lingkungan fisik) di daerah-daerah. Bukti adanya keterbukaan wacana tersebut, adalah saat ini media massa telah banyak memberitakan secara transparan terhadap beberapa kasus pencemaran lingkungan fisik di daerah.

Fenomena ini adalah sesuatu yang langka terjadi pada masa orde baru. Namun demikian, gencarnya pemberitaan kasus pencemaran lingkungan fisik saat ini, belum menghantarkan kepada kesadaran para penghasil limbah untuk berusaha semaksimal mungkin melakukan pengelolaan limbahnya (waste management). Keadaan ini pun didukung pula dengan lemahnya jeratan hukum terhadap para pelaku yang telah benar-benar melakukan pencemaran lingkungan dan merugikan masyarakat.

Berdasarkan pengamatan, ada beberapa industri (perusahaan) yang menghasilkan limbah (terutama limbah cair), sering mengeluh jika harus mengolah air limbahnya terlebih dahulu. Alasannya yang terkesan klasik adalah kalau pengolahan air limbah (baca: IPAL) itu memerlukan biaya tidak sedikit. Sehingga tidak mengherankan, walaupun perusahaan tersebut telah memiliki IPAL, tetapi kadangkala sering kucing-kucingan dengan pemerintah dalam pemanfaatan dan pengoperasian IPAL-nya.

Di sinilah barangkali, pihak perusahaan harus lebih selektif dan inovatif dalam pengelolaan limbahnya. Kenapa hal ini saya kemukakan? Tidak lain karena dewasa ini, yang mendominasi pengelolaan limbah adalah berupa pengolahan limbah setelah limbah tersebut dihasilkan pada akhir proses (end of pipe). Kelemahan pengolahan limbah dengan cara ini adalah jelas-jelas memerlukan biaya pengolahan yang tinggi dan sifatnya hanya memindahkan limbah dari satu tempat (sumber pencemar) ke tempat lain, sehingga beban pencemaran yang harus diterima oleh lingkungan tetap besar.

Menyikapi kenyataan ini, maka sudah saatnya para penghasil limbah dalam melakukan pengelolaan limbahnya, harus segera menerapkan program minimisasi limbah terlebih dahulu sebelum dilakukan proses pengolahan limbah melalui IPAL. Kuncinya ada pada kesadaran dan moralitas para pengusaha itu sendiri.

Minimisasi Limbah
Sebelum membicarakan program minimisasi limbah, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan pengertian antara pengelolaan limbah dengan pengolahan limbah, agar penggunaan kedua kata tersebut tidak akan menimbulkan salah arti dan penempatannya. Pengelolaan limbah itu bukan hanya meliputi upaya pengolahan limbah hasil proses produksi saja, tetapi meliputi upaya mengurangi limbah sebelum dihasilkan, pengolahan limbah, dan pembuangannya ke lingkungan. Jadi, pengelolaan limbah ini memiliki pengertian yang lebih luas dari pengolahan limbah.

Salah satu pengelolaan limbah yang mesti mendapat pertimbagan oleh pimpinan perusahaan sebelum melakukan pengolahan limbah melalui IPAL adalah menerapkan program minimisasi limbah bagi setiap (perusahaan) penghasil limbah.

Minimisasi limbah (waste minimization), adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksinitas (daya racun), dan tingkat bahaya yang keluar ke lingkungan dengan jalan reduksi pada sumbernya dan atau pemanfaatan limbah tersebut menjadi sesuatu yang berguna.

Penerapan program ini, selain dapat memperbaiki kualitas lingkungan karena beban limbahnya berkurang, juga mendapatkan keuntungan-keuntungan ekonomis yang tidak kecil. Antara lain: (1) mengurangi biaya, baik untuk modal maupun operasi unit pengolahan limbah yang dilakukan pada perusahaan yang bersangkutan (on-site). (2) Mengurangi biaya pengolahan limbah dan transportasi untuk pengolahan limbah di luar perusahaan (off-site). (3) Mengurangi biaya untuk perizinan dan biaya produksi yang disebabkan oleh adanya peningkatan efesiensi. (4) Mengurangi resiko akibat tumpahan, kecelakaan, dan tanggap darurat. Dan (5) mendapatkan tambahan keuntungan yang diperoleh dari penjualan atau pemanfaatan kembali limbah yang dihasilkan.

Cara Minimisasi Limbah
Program minimisasi limbah itu, seharusnya telah menempatkan prioritas paling utama dalam strategi pengelolaan lingkungan di tiap perusahaan. Pada dasarnya program ini dapat direalisasikan melalui dua cara.

Pertama, reduksi pada sumber (source reduction). Reduksi pada sumber merupakan upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang keluar ke lingkungan secara preventif langsung pada sumbernya. Cara seperti ini, dapat dilakukan pada bagian-bagian proses tertentu di tiap-tiap perusahaan. Misalnya pada bahan baku, teknologi yang digunakan, operasi, dan bagian produk sekalipun.

Teknik-teknik yang dapat digunakan dalam reduksi pada sumber antara lain: (1) house keeping. Hal ini merupakan suuatu usaha yang dilakukan untuk menjaga kebersihan lingkungan perusahaan dari limbah-limbah yang berasal dari ceceran, tumpahan, kebocoran, dan lainnya.

(2) Segresi aliran limbah. Adalah pemisahan berbagai jenis aliran limbah menurut komponen, konsentrasi atau keadaannya sehingga dapat mempermudah, mengurangi volume dan mengurangi biaya pengolahan limbah.

(3) Melakukan preventive maintenance. Yaitu pemeliharaan dan penggantian alat atau bagian alat menurut waktu yang telah dijadwalkan berdasarkan perkiraan waktu kerusakan alat.

(4) Pengolahan bahan. Berarti suatu upaya untuk mengelola bahan sedemikian rupa agar persediaan selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses produksi, tetapi tidak berlebihan sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan pemakaian bahan yang terkontrol sehingga tidak terjadi kerusakan bahan.

(5) Pengaturan kondisi proses operasi dan modifikasi alat. Dengan adanya modofikasi alat sehingga lebih efesien akan mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan, mengurangi bahan yang harus didaur ulang, dan limbah yang dibuang.

(6) Melalui subtitusi bahan. Artinya menggantikan bahan beracun dengan bahan lain yang kurang beracun atau tidak beracun, sehingga dapat membantu mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan.

Kedua, pemanfaatan limbah. Yaitu suatu upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang keluar ke lingkungan. Usaha pemanfaatan limbah ini merupakan alternatif minimisasi limbah yang dapat memberikan nilai ekonomis berupa pengurangan biaya pembuangan limbah dan pengadaan bahan baku. Adapun teknik yang dapat dilakukan berupa: recovery (perolehan kembali), reuse (penggunaan kembali), dan recycle (daur ulang).

Jadi, fakta memperlihatkan bahwa pengolahan limbah yang selama ini dilakukan para pengusaha industri yang menghasilkan limbah adalah belum maksimal. Sehingga janganlah dijadikan alasan biayanya mahal untuk mengolah limbah itu, kalau belum menerapkan program minimisasi limbah di atas. Dalam arti lain, tidak ada alasan lagi bagi perusahaan penghasil limbah, jika tidak melakukan pengelolaan limbahnya.

Akhirnya dengan penerapan program minimisasi limbah bagi industri-industri yang ada di hulu Sungai Citarum tersebut, saya punya keyakinan bahwa langkah ini dapat membuahkan hasil berupa pengurangan beban berat pencemaran yang diderita Sungai Citarum.***
Penulis adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
ADA EBOOK GRATIS SEBAGAI BONUS YANG WAJIB ANDA BACA: